Petani Harus Perbaiki Kualitas
Kehidupan petani karet belum sejahtera
Petani karet harus didorong untuk bisa terus memperbaiki kualitas lateks yang dihasilkannya. Rendahnya kualitas bahan olahan karet rakyat atau bokar menimbulkan tingginya biaya produksi."Kalaupun ada karet rakyat berkadar kering 100 persen, pabrik hanya dapat membeli 85 persen dari harga pasar internasional. Ini hal yang wajar, karena 15 persen lagi dibutuhkan untuk biaya produksi dan pengangkutan," kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan (Sumsel) Awi Aman, di Palembang, Senin (28/5).
Seperti diberitakan Kompas Senin (28/5), pedagang perantara hanya membeli bokar di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasi, Sumsel seharga Rp 7.000 per kilogram. Petani tidak pernah mengetahui sedikitpun mengapa pedagang membeli karet mereka di bawah harga internasional.
Saat ini, harga karet internasional berkisar Rp 18.000 per kg hingga Rp 19.000 per kg dengan kondisi kontrak barang sudah di atas kapal untuk dikirim (FOB).
Akan tetapi karena pabrik membebankan biaya produksi pengolahan kepada petani, harga bokar berkadar kering 100 persen hanya berkisar Rp 15.300 per kg hingga Rp 16.150 per kg.
Jika pedagang membeli karet petani pada harga Rp 7.000 per kg, maka itu berarti taksiran kadar kering bokar hanya 45 persen. Sisanya sebesar 55 persen dianggap air dan sampah yang tidak bisa diolah menjadi karet, misalnya ranting atau daun.
"Ini yang menimbulkan inefisiensi karena pabrik harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mengolah bokar. Jika kualitas bokar baik, tentu biaya produksi bisa ditekan," jelas Awi.
Belum sejahtera
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel Syamuil Chatib mengakui, sebagian besar kehidupan petani karet belum sejahtera. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh panjangnya mata rantai pemasaran yang dilakukan tengkulak bermodal besar.
Untuk itu, Dinas Perkebunan Sumsel berusaha melepas petani dari jeratan tengkulak dengan mendorong mereka bergabung dalam koperasi yang diberi bantuan dana bergulir Rp 700 juta. Diharapkan, koperasi menjadi pilar penyedia kebutuhan perkebunan, serta meningkatkan kekuatan tawar-menawar petani terhadap tengkulak, sekaligus membuka akses pemasaran langsung ke pabrik sehingga nilai jual karet menjadi lebih tinggi.Syamuil mengatakan, jumlah koperasi petani karet yang terbentuk di Sumsel hingga kini baru mencapai 40 koperasi. Padahal, dengan jumlah petani mencapai 450.000 keluarga, setidaknya diperlukan 100 koperasi dengan asumsi setiap koperasi memiliki jumlah anggota 4.500 petani."Kehidupan petani karet banyak terjerat oleh para tengkulak yang tidak ikut berkeringat, tapi justru mengeruk keuntungan besar. Masalah tengkulak sudah ada sekian lama dan sulit teratasi," kata Syamuil.
Sumber: Kompas
Petani karet harus didorong untuk bisa terus memperbaiki kualitas lateks yang dihasilkannya. Rendahnya kualitas bahan olahan karet rakyat atau bokar menimbulkan tingginya biaya produksi."Kalaupun ada karet rakyat berkadar kering 100 persen, pabrik hanya dapat membeli 85 persen dari harga pasar internasional. Ini hal yang wajar, karena 15 persen lagi dibutuhkan untuk biaya produksi dan pengangkutan," kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan (Sumsel) Awi Aman, di Palembang, Senin (28/5).
Seperti diberitakan Kompas Senin (28/5), pedagang perantara hanya membeli bokar di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasi, Sumsel seharga Rp 7.000 per kilogram. Petani tidak pernah mengetahui sedikitpun mengapa pedagang membeli karet mereka di bawah harga internasional.
Saat ini, harga karet internasional berkisar Rp 18.000 per kg hingga Rp 19.000 per kg dengan kondisi kontrak barang sudah di atas kapal untuk dikirim (FOB).
Akan tetapi karena pabrik membebankan biaya produksi pengolahan kepada petani, harga bokar berkadar kering 100 persen hanya berkisar Rp 15.300 per kg hingga Rp 16.150 per kg.
Jika pedagang membeli karet petani pada harga Rp 7.000 per kg, maka itu berarti taksiran kadar kering bokar hanya 45 persen. Sisanya sebesar 55 persen dianggap air dan sampah yang tidak bisa diolah menjadi karet, misalnya ranting atau daun.
"Ini yang menimbulkan inefisiensi karena pabrik harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mengolah bokar. Jika kualitas bokar baik, tentu biaya produksi bisa ditekan," jelas Awi.
Belum sejahtera
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel Syamuil Chatib mengakui, sebagian besar kehidupan petani karet belum sejahtera. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh panjangnya mata rantai pemasaran yang dilakukan tengkulak bermodal besar.
Untuk itu, Dinas Perkebunan Sumsel berusaha melepas petani dari jeratan tengkulak dengan mendorong mereka bergabung dalam koperasi yang diberi bantuan dana bergulir Rp 700 juta. Diharapkan, koperasi menjadi pilar penyedia kebutuhan perkebunan, serta meningkatkan kekuatan tawar-menawar petani terhadap tengkulak, sekaligus membuka akses pemasaran langsung ke pabrik sehingga nilai jual karet menjadi lebih tinggi.Syamuil mengatakan, jumlah koperasi petani karet yang terbentuk di Sumsel hingga kini baru mencapai 40 koperasi. Padahal, dengan jumlah petani mencapai 450.000 keluarga, setidaknya diperlukan 100 koperasi dengan asumsi setiap koperasi memiliki jumlah anggota 4.500 petani."Kehidupan petani karet banyak terjerat oleh para tengkulak yang tidak ikut berkeringat, tapi justru mengeruk keuntungan besar. Masalah tengkulak sudah ada sekian lama dan sulit teratasi," kata Syamuil.
Sumber: Kompas
No comments:
Post a Comment