BERITA MUBA sangat berterima kasih apabila Anda memberikan suatu bentuk apresiasi dalam bentuk kritik, saran, komentar ataupun tulisan dan opini karena hal tersebut akan sangat membantu untuk pembanggunan MUBA di masa mendatang. Kirim Tulisan/Opini ke asahnet@gmail.com atau asahinternet@yahoo.com

Sunday, July 22, 2007

Alex Noerdin: Porsi Bagi Hasil Migas Tak Adil

Sejumlah daerah penghasil minyak dan gas (migas) yang tergabung dalam Forum Komunikasi Daerah Penghasil Migas (FKPDM) meminta pemerintah untuk tidak menghapus Dana Alokasi Umum (DAU) sebelum daerah penghasil migas mendapat bagi hasil migas yang layak.

Ketua FKPDM Alex Noerdin menyatakan, selama ini daerah penghasil migas hanya memeperoleh enam persen dari eksploitasi migas. ‘’Porsi bagi hasil itu sangat tidak adil. Karena itu jika DAU dihapuskan, pembangunan di daerah penghasil migas akan terganggu karena kesulitas dana,’’ ujar Alex Noerdin di sela-sela acara diskusi tentang Optimalisasi dan Transparan Bagi Hasil Migas Terhadap Daerah Penghasil yang diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (19/7).

Dalam acara yang ditaja Advokasi Penegakkan Otonomi Daerah (LAPOD) itu, Alex yang juga Bupati Musi Banyuasin, Seumatera Selatan ini menambahkan, FKPDM sangat keberatan dengan rencana penghapusan DAU tersebut.

Menurut Alex, bagi hasil enam persen yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah penghasil migas sebenarnya sangat tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang harus ditangug daerah akibat dari eksploitasi migas.

Mengutip Pasal 14 UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Alex menyebutkan, daerah berhak mendapatkan bagian bagi hasil minyak bumi sebesar 15,5 persen, sedangkan sisanya untuk pemerintah pusat.

Alex merincikan, persentase 15,5 itu terdiri dari 3 persen untuk provinsi yang tempat kabupaten penghasil minyak, enam untuk kabupaten atau kota penghasil, dan enam persen sisanya dibagi untuk kota atau kabupaten lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. ‘’Sedang sisanya, sebesar 0,5 persen dibagi lagi antara provinsi, kabupaten atau kota penghasil dan kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,’’ sebut Alex.

Adapun untuk bagi hasil untuk gas bumi adalah 69,5 persen untuk pusat dan 30,5 persen untuk daerah. 30 persen untuk daerah itu dibagi dengan rincian 6 persen untuk provinsi tempat kabupaten/kota penghasil, 12 persen untuk kabupaten atau kota penghasil, dan 12 lainnya untuk kota atau kabupaten lainnya dalam satu provinsi. Sedang sisa 0,5 persen dibagi lagi antara provinsi, kabupaten atau kota penghasil dan kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Selain itu, lanjut Alex, daerah-daerah penghasil migas juga mengeluhkan dengan tidak adanya transparansi dari bagi hasil migas, apalagi yang menyangkut soal cost recovery.

‘’Bayangkan saja kalau ekspatriat yang sakit gigi saja harus berobat di Singapura dan biayanya masuk dalam cost recovery. Tentu ini menimbulkan kecurigaan,’’ ungkapnya.

Yang tak kalah memprihatikan, lanjut Alex, jumlah bagi hasil yang minim itu ternyata juga sering terlamabat disetorkan ke daerah. Pencairan dana bagi hasil dari pusat ke daerah yang sedianya dilakukan setiap tiga bulan, ternyata dalam prateknya bahkan sering molor hingga lewat tiga bulan dari waktu yang sudah ditentukan.

‘’Keterlambatan berdampak pada cash flow daerah penghasil migas menjadi terganggu. Begitu juga dengan pembiayaan pembangunan dan pelayanan umum daerah tersebut menjadi tidak optimal. Bahkan penyusunan APBD juga ikut terganggu,’’ bebernya.

Penyimpangan Kontraktor
Dalam kesempatan sama, Mantan Gubernur OPEC Fund For International Development yang juga Mantan staff ahli Menteri Keuangan, Gunawan Suratno, mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil audit BPKP 2002-2005 telah ditemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh kontraktor yang berakibat pada penggelembungan cost recovery dan merugikan negara sekitar Rp18 triliun.

Gunawan juga mengungkapkan, hasil audit BPK juga menemukan adanya potensi kerugian negara sebesar 2,5 miliar dolar AS sebagai akibat adanya penyimpangan yang dilakukan kontraktor Kerja Sama Migas (KSM).

Sumber: riaupos.com

3 comments:

Anonymous said...

Diberbargai tempat dan waktu memang masih banyak terdengar kalangan masyarakatpun berpendapat bahwa pembagian hasil antara daerah dan pusat masih tidak adil.
Padahal munculnya otonomi daerah justeru untuk memberikan keadilan sebagaimana keinginan yang dikehendaki masyarakat selama ini.
Itulah yang sering saya dengar !!!

Anonymous said...

Terjadinya kepincangan pembagian hasil antara pusat dan daerah, menimbulkan berbagai pendapat dan keinginan dikalangan masyarakat.
Dalam berbagai media termasuk interaktif, tidak kurang2nya pendapat yang menghendaki agar supaya undang2 yang mengatur prosentase pembagian itu ditinjau dan diperbarui lagi sampai memenuhi rasa keadilan sebagaimana dikehendaki daerah.
Demikian pendapat yang beredar.

Anonymous said...

Husus nya daerah penghasil minyk ...semacam di daerah sungai angit..pemerinta dalam kontek ini jangan di ambil alih ini biarkan saja masyrakatnya yang mengelolahnya demi menambah penghasilan masyrakat setempat ...yg penting pemerinta muab hususnya Babat Toman, bikin sistymnya untuk membli hasil /pengumpul hasil minyk tambang masyarakat tersebut.supaya tekoordinasi dgn benar.

Ingin mendapatkan berita secara cepat? Silahkan anda masukkan kata kunci pencarian untuk mencari artikel yang anda cari di Berita Muba ini: