BERITA MUBA sangat berterima kasih apabila Anda memberikan suatu bentuk apresiasi dalam bentuk kritik, saran, komentar ataupun tulisan dan opini karena hal tersebut akan sangat membantu untuk pembanggunan MUBA di masa mendatang. Kirim Tulisan/Opini ke asahnet@gmail.com atau asahinternet@yahoo.com

Tuesday, April 24, 2007

Mencangkul Sawah pun Dilakoni

Kesetaraan Masih Sebatas Cita-cita
Refleksi Peringatan Hari Kartini
Catatan Wartawan Sriwijaya Post, Soegeng Haryadi, Sri Herlina, dan Ahmad Naafi Dari Muba dan Pagaralam.

SURI’AH (50) warga RT 05 Kelurahan Balai Agung Sekayu, memang tidak dikenal di Kabupaten Muba. Keseharian perempuan ini hanyalah menggarap sawah dan mengurusi dua ekor sapi sebagai sandaran ekonomi keluarga. Dengan menempati rumah panggung sederhana, dia bergulat melawan hidup di perantauan.
Bermodal tekad memperbaiki hidup, Suri’ah, sang suami Abdul Halim (50) dan keluarga, meninggalkan tanah asal Pekalongan (Jateng) mengikuti program transmigrasi tahun 1981. Dengan menempati sebidang tanah di Trans B5 Blok B1 di Babattoman, usaha mencoba memperbaiki hidup dia mulai. Namun 15 tahun kemudian, Suri’ah sekeluarga memutuskan pindah ke Sekayu, ibukota Kabupaten Muba. Besar harapan dengan kepindahan itu dapat memperbaiki hidup disbanding di tanah transmigrasi.
Nyatanya setelah 10 tahun sejak kepindahannya, Suri’ah yang kini dikaruniai empat anak dan dua cucu, harus tetap membanting tulang dalam kemiskinan. Sehari-hari dia menggarap sawah. Sedangkan sang suami memilih menarik becak dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya menyuplai genteng.
Suri’ah mulai beraktivitas pukul 04.00 pagi hingga larut malam. Tak hanya pekerjaan disawah, tanggungjawab sebagai isteri dan ibu rumah tangga dijalani dalam satu hari penuh. Aktivitas Suri’ah ditutup dengan memberikan makan bagi dua ekor sapi peliharaannya.

Tak jauh beda dengan Suri’ah, Kasmawati (50) warga Talang Jawa Sidorejo, Pagaralam Selatan, setiap hari memulai aktivitasnya pukul 06.00. Dari pekerjaan sebagai pekerja harian pemetik teh di perkebunan teh PTPN VII, setidaknya dia dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari- hari. Kasmawati percaya jika tergantung pada suami yang bekerja serabutan, pastilah sulit menyekolahkan anak-anak mereka. Belum lagi jika ada kebutuhan mendesak. Sementara Marniati dan Maryam, juga harus untuk menopang ekonomi keluarga dengan menanam sayur atau bertani. “Dari hasil bertanam sayur kadang hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah anak sampai ke SMU. Terkadang juga biaya pengolahan tidak kembali, karena harga hasil penan murah. Itulah gambaran sosok perempuan di pedesaan, yang umumnya masih jauh dari harapan dan cita-cita RA Kartini.

Sumber: Sripo

No comments:

Ingin mendapatkan berita secara cepat? Silahkan anda masukkan kata kunci pencarian untuk mencari artikel yang anda cari di Berita Muba ini: